Dalam buku Al Farabi yang berjudul Risalah Fisiyah, seperti yang
dikutip oleh Oemar Amin Husain, mengatakan bahwa Ide Pokok Pemikiran Al Farabi :
1.
Anak
Membawa Sifat Baik dan Buruk dan kemampuan itu.
Anak-anak berbeda pembawaannya satu
sama lain. Oleh karena itu apa yang diajarkan harus disesuaikan dengan
perbedaan pembawaan dan kemampuan itu. Karena diantara anak-anak yang berwatak
buruk itu akan dipergunakannya untuk tujuan perbuatan-perbuatan buruk, maka
seharusnya pendidikan membawa mereka ke dalam pembinaan. Pemberian pelajaran
yang mungkin dipergunakannya untuk tujuan buruk, hendaknya dicegah secepat
mungkin dengan pendidikan akhlaq.
2.
Melakukan
Pembinaan Diri (Tafakur)
Pembinaan diri pribadi ke arah jalan
yang terbaik yaitu agar mengadakan hal ikhwal kepada masyarakat, bangsa-bangsa
dan pekerja-pekerja merekaserta hal ikhwal pejabat-pejabat pemerintah dari
mereka baik langsung disaksikannya atau tidak langsung dari apa yang
didengarkannya dan lalu ia memperhatikan sungguh-sungguh dan menganalisis semua
yang diketahuinya itu dan mengklasifikasikan antara kebaikan dan keburukannya
antara yang bermanfaat dan madhorot terhadap mereka. Sesudah itu
hendaklah ia berijtihad sungguh-sungguh untuk mengambil mana kebaikannya. Untuk
memperolehnya dan hendaklah ia bersungguh-sungguh pula menghindari mana yang
buruk, agar ia aman dari kemudhorotnya dan selamat dari malapetaka sebagaimana
bangsa itu selamat. Dari pernyataan di atas dapat dipahami pendapat Al Farabi
bahwa kriteria kebaikan dapat diangkat dari sejarah pengalaman manusia.
3.
Anak
Berbeda dalam Pemahaman/Kecerdasan
Di antara anak ada pula yang lemah
kecerdasannya, yang sulit untuk dikembangkan. Kepada anak golongan ini
diberikan mata pelajaran yang sesuai dengan kondisi mereka. Namun banyak pula
dari anak-anak itu punya ahlaq yang luhur, pribadi yang baik, kepada mereka
inji haruslah diberikan pendidikan dan pengajaran sebanyak-banyaknya sesuai
dengan bakat pembawaan mereka.
4.
Kekuatan
Jiwa Manusia
Al Farabi membagi kekuatan-kekuatan
jiwa ke dalam beberapa bagian :
·
Kekuatan-kekuatan
gizi (Quwwatul ghariyah)
Dengan kekuatan ini manusia
menghisap makanan (gizi)
·
Kekuatan-kekuatan
Indrawi (Quwwatul Hassah)
Kekuatan indrawi timbul setelah
kekuatan gizi. Dengan kakuatan indrawi manusia sanggup mengindra. Kekuatan pengindraan
mempunyai sentral dan cabang-cabang yang disebut panca indra, dan otak sebagai
sentral yang bertugas menghimpun seluruh apa yang ditangkap panca indra
seutuhnya.
·
Kekuatan
imajinasi (mutakhayyilah)
Berfungsi menyimpan dan memelihara
segala yang diterima alat-alat indrawi
·
Kekuatan
nathiqoh
Dengan daya ini seseorang dapat
berpikir tentang hal-hal yang abstrak, membentuk pengertian-pengertian atau
dengan kata lain dapat membuat keputusan yang mantap.
METODE AL FARABI
Untuk menjadi seorang yang punya nama di mata dunia tentulah tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Ia harus menempuh perjalanan panjang yang
tidak mulus, banyak rintangan di sana-sini. Untuk memperoleh jati diri yang
sebenarnya. Melihat dari biografi dan status sosial, yang mana di masa kecilnya
ia sudah terlihat kecerdasannya tetapi karena Al Farabi tak menuliskan riwayat
hidupnya, sehingga informasi tidak terlalu memadai, namun hal itu masih dapat
kita ketahui keluarga masa kanak-kanak dan masa remajanya. Dalam kehidupannya
ia selalu berpindah tempat tinggal dari waktu ke waktu untuk memperoleh
pengetahuan yang tidak dapat ia temukan hanya pada satu tempat, dan hal ini
juga didorong karena ia tertarik dengan studi rasional, yang tidak diperoleh di
kota kelahirannya, sehingga ia meninggalkan rumah dan mengembara menuntut ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu penulis menilai bahwa proses untuk menjadi seorang
yang besar “Al Farabi”, ia mensosialisasikannya dengan metode paripatetik
atau perjalanan ilmiah yaitu “orang yang suka berkeliling".
Berangkat dari metode Al Farabi, maka teori yang digunakannya
adalah analitic generatif yaitu menguraikan sesuatu yang bersifat umum.
Hal ini dapat kita lihat dalam perjalanannya tersebut, yaitu pada masa Amir
Saifullah. Al Farabi adalah seorang yang tajam tanggapannya. Sifat ini terbukti
ketika para pakar dalam pelbagai ilmu pengetahuan sedang berdiskusi, dalam
diskusi tersebut ia selal mengatasi pendapat anggota-anggota lain, hingga pada
akhirnya anggota yang lain diam semuanya. Tinggallah dia berbicara sendirian,
sedang anggota lainnya mencatat apa yang ia ucapkan.
TEORI AL FARABI
Berangkat dari metode Al Farabi, maka teori yang digunakannya
adalah analitic generatif yaitu menguraikan sesuatu yang bersifat umum.
Hal ini dapat kita lihat dalam perjalanannya tersebut, yaitu pada masa Amir
Saifullah. Al Farabi adalah seorang yang tajam tanggapannya. Sifat ini terbukti
ketika para pakar dalam pelbagai ilmu pengetahuan sedang berdiskusi, dalam
diskusi tersebut ia selal mengatasi pendapat anggota-anggota lain, hingga pada
akhirnya anggota yang lain diam semuanya. Tinggallah dia berbicara sendirian,
sedang anggota lainnya mencatat apa yang ia ucapkan.
SETTING SOSIAL AL FARABI
Berbeda dengan kelaziman beberapa sarjana muslim lainnya Al Farabi
tidak menuliskan riwayat hidupnya, dan tidak seorangpun para pengikutnya
merekam kehidupannya, sebagaimana yang dilakukan Al Jurjani untuk
gurunya, Ibn Sina. Oleh karena itu mengenai kehidupan Al Farabi masih terdapat
kesamaran dan beberapa masalah yang masih perlu diteliti dan dituntaskan.
Kehidupan Al Farabi dapat dibagi menjadi dua periode, yang pertama
dari sejak lahir sampai ia berusia 50 tahun. Dengan informasi yang tidak
memadai ini, kita dapat engetahui kaluarganya, masa kanak-kanaknya, dan masa
remajanya. Telah diyakini bahwa ia lahir sebagai orang Turki, ayahnya seorang
jendral, dan ia sendiri bekerja sebagai hakim untuk beberapa lama. Al Farabi
tinggal di Baghdad pada masa kholifah Abbasiyah “Al Muktadir” (950).
Pada awal abad ke 3 H/9 M di Farab berlangsung kebudayaan dan
pemikiran yang meluas bersama dengan pengenalan Islam, dan pada saat itu
terkenal pula seorang ahli bahasa Al Jauhari, yang telah menulis buku “Al
Shiha”, salah seorang yang sezaman dengan Al Farabi.
Pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa, ia mempelajari
fiqh, hadits dan tafsir Al Qur’an. Ia mempelajari bahasa Arab, Turki, dan Persia,
ia tidak mengabaikan manfaat yang dapat diperoleh dari studi-studi rasionnal
yang berlangsung pada hidupnya, seperti matematika dan filsafat, meskipun
tampaknya ia tidak berpaling keduanya sampai kemudian. Dan ketika ia demikian
tertarik dengan studi rasional, ia tidak puas dengan apa yang doperolehnya di
kota kehadirannya, terdorong oleh keinginan intelektuaqlnya itu maka ia
meninggalkan rumahnya dan mengembara menuntut ilmu pengetahuan.
Periode kedua kehidupan Al Farabi adalah periode usia tua dan kematangan
penuh. Baghdad sebagai pusat belajar yang terkemuka pada abad ke 4 H/10 M,
merupaka tempat yang pertama yang dikunjunginya, di sana ia berjumpa dengan
sarjana dari berbagai bidang, diantaranya pada filosof dan penerjemah. Ia
tertarik untuk mempelajari logika, dan diantara ahli-ahli logika terkenal dari
Baghdad, Abu Bisyr Matta Ibn Yunnus-lah yang dipandang orang sebagai
ahli logika paling terkemuka pada zamannya. Untuk beberapa lama Al Farabi
belajar logika kepada Ibn Yunnus. Ia mengungguli gurunya, dan karena
pencapaiannya yang gemilang di bidang ini, ia memperoleh sebutan “Guru Kedua”.
Al Farabi bermukim 10 tahun di Baghdad dan kemudian tertarik oleh
pusat kebudayaan lain di Aleppo. Di sana tempat-tempat orang brillian dan para
sarjana, istana Saif Al Daulah, berkumpul para penyair, ahli bahasa,
filosof, dan sarjana kenamaan lainnya. Meski ada simpati kuat keakraban dari
istana tersebut, namun tidak ada rasa ke-ras-an atau prasangka di dalamnya
orang-orang Persia, Turki, dan Arab berdiskusi dan berdebat, sepakat atau
berbeda pendapat tanpa mencari keuntungan pribadi dalam menuntut ilmu
pengetahuan. Di istana tersebut Al Farabi tinggal, dan merupakan orang pertama
terkemuka, sebagai sarjana dan pencari kebenaran, kehidupan yang gemerlapan dan
megah di istana itu tidak mempengaruhinya, dan dalam pakaian sufi ia membebani
dirinya dengan tugas berat seorang sarjana dan pengajar. Ia menulis buku-buku
dan artikel-artikel dalam suasana gemercikan air sungai dan di bawah dedaunan
pepohonan yang rindang.
Kecuali beberapa perjalanan singkatnya ke luar negeri, Al Farabi
bermukim di Syiria hingga wafat pada tahun 339 H/950 M. Ibnu Usaibi’ah
menyebutkan bahwa Al Farabi mengunjungi menjelang akhir hayatnya. Hal ini
mungkin karena Mesir dan Syiria mempunyai hubungan yang kuat di sepanjang
rentangan sejarah yang cukup panjang dan kehidupan kebudayaan Mesir pada masa Thutunniyah
dan Ikhsyidiyyah memang mempunyai pesona. Tetapitersiarnya kabar tetangga terbunuhnya
Al Frabi oleh beberapa perampok dalam perjalanannya antara Damaskus Asgalan
sebagaimana dikutip Al Baihaqi adalah rekaan belaka. Al Farabi mencapai
posisi yang sangat terpuji di Istana Saif Al Daulah, sampai-sampai sang
raja bersama sang pengikut dekatnya mengantarkan jenazahnya ke pemakamannya
sebagai penghormatan atas kematian seorang sarjana terkemuka.